Entah
apa yang terpikir di benak para broker-broker di Indonesia, setiap kali ada
momentum, selalu saja kebiasaan buruk lama yang terulang. Seperti hari raya
idul fitri tahun ini, untu menyambut perayaan tahunan hari besar umat islam
se-dunia itu, para broker dan spekulan menaikkan harga sembako sedemikian
tinggi hingga membuat rakyat kesulitan membeli kebutuhan pokok. Akibatnya,
beberapa kegiatan produksi terancam mogok. Bahkan para pengusaha tahu dan tempe
di beberapa daerah sudah melakukan aksi mogok produksi tahu dan tempe akibat
tingginya harga kedelai sebagai bahan bakunya.
Sementara
itu, pemerintah malah menyerah dan mengaku kalah dari para broker-broker itu,
rupanya pemerintah sudah terlampau banyak mengurusi masalah yang selalu tidak
kunjung selesai. Sehingga untuk main aman, mereka mencari jalan pintas dengan
cara membuka keran impor sebesar-besarnya, ironisnya barang-barang kebutuhan
yang kita impor itu kebanyakan adalah komoditi produksi andalan negara agraris
seperti kita, contohnya impor gandum, kedelai, beras, bahkan hingga garam.
Ironisnya negara kita yang notabene adalah negara kepulauan harus menanggung
kenyataan yang menyedihkan, yaitu mengimpor garam, memang pada pergi kemana
para petani garam kita?
Ternyata
reformasi yang telah berjalan sekian tahun ini baru memasuki babak awal,
reformasi yang menumbangkan rezim pembangunan Orde Baru yang berakhir kelam ini
bahkan belum bisa menyamai prestasi para petinggi Orde Baru. Meski ada kemajuan
di beberapa bidang lain, tapi yang saya garisbawahi disini adalah kenyataan
kita sampai sekarang belum bisa menyelenggarakan swasembada pangan sebagaimana
telah dilakukan Ir. Soeharto dan kroni-kroninya. Bahkan pemerintah sekarang
tidak jelas mau dibawa kemana rakyat Indonesia, programnya berjalan setengah-setengah,
dana APBD dikorupsi tdak cuma keluarga, bahkan bawahan, karib kerabat dan
teman-teman. Istilahnya APBD dipakai bancaan.
Sebagai
pembanding saja, cobalah kita tengok sedikit bagaimana Bapak Presiden Soeharto
membangun Indonesia dengan perencanaan yang matang dan jelas. Rakyat bahkan
tahu mau dibawa kemana negara Indonesia. Perencanaan itu diawasi, dituntun dan
dievaluasi dengan acuan lima tahun yang terkenal dengan PELITA. Dari semua
keberhasilan itu, saya hanya ingin sedikit membahas tentang bagaimana
pemerintah saat itu mampu menjaga dan menstabilkan harga-harga, terutama untuk
makanan dan kebutuhan pokok. Saat itu, pemerintah membuat suatu sistem yang
dibentuk dari pusat hingga tingkat desa, suatu sistem terkomando yang berfungsi
untuk mengorganisir dan mengakomodir hasil bumi rakyat yang mayoritas berupa
padi dan palawija. Kemudian, hasil pertanian tersebut dikumpulkan dalam suatu
koperasi desa yang bertujuan untuk menghindari pembelian sistem ijon dari para
broker, dari koperasi desa, sembako tersebut kemudian disetor ke pusat dan
dikumpulkan di BULOG(Badan Urusan Logistik). Dengan begitu, para broker tidak
akan bisa mempermainkan harga sembako, karena pemerintah memiliki persediaan
sembako yang begitu banyak yang siap dikeluarkan kapan saja. Sesuai hukum
permintaan dan penawaran, untuk menurunkan harga barang yang begitu tinggi,
bisa dilakukan dengan menaikkan penawaran. Sehingga harga sembako saat itu
benar-benar murah dan terjangkau.
Selain
itu, untuk menaikkan kualitas sembako yang dihasilkan, pemerintah melakukan
pembinaan dan pelatihan yang diorganisir oleh suatu badan yang dibentuk up-down
hingga tingkat kecamatan. Dengan begitu, hasil pertanian benar-benar masuk kas negara
dan masyarakat mendapat perhatian yang baik dari pemerintah.
Sekarang
kita lihat pemerintah kita saat ini, dengan membuka keran impor, mereka
berusaha menutupi kekurangan sembako nasional. Padahal sebenarnya bukan
kekurangan, hanya hasilnya tidak sesuai yang diharapkan. Hal itu disebabkan
oleh pertama, karena kurangnya perhatian pemerintah terhadap masyarakat petani,
untuk pupuk dan benih saja terkadang mereka masih haus membayar mahal,
pelatihan hanya diperoleh dari nenek moyang secara turun temurun. Padahal jika
proses pengolahan dilakukan dengan teknologi, hasilnya pasti akan lebih bagus
dan maksimal.
Kedua,
karena pemerintah ingin mencari jalan tengah yang aman. Berbeda dengan pak Harto
yang begitu gencarnya menggalang dana, bahkan dengan hutang. Meski terkesan berisiko
tinggi, tapi pemerintah ORBA berani mengambil itu. Dengan dana segitu,
pemerintah ORBA membangun negara dengan sebegitu cepatnya. Meski akhirnya
gara-gara ulah pemerintah ORBA itu, sampai sekarang Indonesia masih terlilit
utang, kita cuma belajar mengambil sisi positif dari ketegasan dan kecepatan
pemerintah ORBA dalam menstabilkan kondisi Indonesia saat itu.
Seandainya
pemerintah Indonesia sekarang bisa sedikit lebih berani mengambil risiko untuk
memndidik dan membangun rakyat Indonesia, bukan mustahil beberapa tahun ke
depan, kita bisa melihat Indonesia sejajar dengan negara-negara maju dunia.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar