Sekarang Jam ...

WELCOME

Hidup adalah Sebuah Pilihan...

Terbang atau Terinjak...

Minggu, 12 Agustus 2012

Ironi Reformasi

          Entah apa yang terpikir di benak para broker-broker di Indonesia, setiap kali ada momentum, selalu saja kebiasaan buruk lama yang terulang. Seperti hari raya idul fitri tahun ini, untu menyambut perayaan tahunan hari besar umat islam se-dunia itu, para broker dan spekulan menaikkan harga sembako sedemikian tinggi hingga membuat rakyat kesulitan membeli kebutuhan pokok. Akibatnya, beberapa kegiatan produksi terancam mogok. Bahkan para pengusaha tahu dan tempe di beberapa daerah sudah melakukan aksi mogok produksi tahu dan tempe akibat tingginya harga kedelai sebagai bahan bakunya.

         Sementara itu, pemerintah malah menyerah dan mengaku kalah dari para broker-broker itu, rupanya pemerintah sudah terlampau banyak mengurusi masalah yang selalu tidak kunjung selesai. Sehingga untuk main aman, mereka mencari jalan pintas dengan cara membuka keran impor sebesar-besarnya, ironisnya barang-barang kebutuhan yang kita impor itu kebanyakan adalah komoditi produksi andalan negara agraris seperti kita, contohnya impor gandum, kedelai, beras, bahkan hingga garam. Ironisnya negara kita yang notabene adalah negara kepulauan harus menanggung kenyataan yang menyedihkan, yaitu mengimpor garam, memang pada pergi kemana para petani garam kita?

         Ternyata reformasi yang telah berjalan sekian tahun ini baru memasuki babak awal, reformasi yang menumbangkan rezim pembangunan Orde Baru yang berakhir kelam ini bahkan belum bisa menyamai prestasi para petinggi Orde Baru. Meski ada kemajuan di beberapa bidang lain, tapi yang saya garisbawahi disini adalah kenyataan kita sampai sekarang belum bisa menyelenggarakan swasembada pangan sebagaimana telah dilakukan Ir. Soeharto dan kroni-kroninya. Bahkan pemerintah sekarang tidak jelas mau dibawa kemana rakyat Indonesia, programnya berjalan setengah-setengah, dana APBD dikorupsi tdak cuma keluarga, bahkan bawahan, karib kerabat dan teman-teman. Istilahnya APBD dipakai bancaan.

         Sebagai pembanding saja, cobalah kita tengok sedikit bagaimana Bapak Presiden Soeharto membangun Indonesia dengan perencanaan yang matang dan jelas. Rakyat bahkan tahu mau dibawa kemana negara Indonesia. Perencanaan itu diawasi, dituntun dan dievaluasi dengan acuan lima tahun yang terkenal dengan PELITA. Dari semua keberhasilan itu, saya hanya ingin sedikit membahas tentang bagaimana pemerintah saat itu mampu menjaga dan menstabilkan harga-harga, terutama untuk makanan dan kebutuhan pokok. Saat itu, pemerintah membuat suatu sistem yang dibentuk dari pusat hingga tingkat desa, suatu sistem terkomando yang berfungsi untuk mengorganisir dan mengakomodir hasil bumi rakyat yang mayoritas berupa padi dan palawija. Kemudian, hasil pertanian tersebut dikumpulkan dalam suatu koperasi desa yang bertujuan untuk menghindari pembelian sistem ijon dari para broker, dari koperasi desa, sembako tersebut kemudian disetor ke pusat dan dikumpulkan di BULOG(Badan Urusan Logistik). Dengan begitu, para broker tidak akan bisa mempermainkan harga sembako, karena pemerintah memiliki persediaan sembako yang begitu banyak yang siap dikeluarkan kapan saja. Sesuai hukum permintaan dan penawaran, untuk menurunkan harga barang yang begitu tinggi, bisa dilakukan dengan menaikkan penawaran. Sehingga harga sembako saat itu benar-benar murah dan terjangkau.

         Selain itu, untuk menaikkan kualitas sembako yang dihasilkan, pemerintah melakukan pembinaan dan pelatihan yang diorganisir oleh suatu badan yang dibentuk up-down hingga tingkat kecamatan. Dengan begitu, hasil pertanian benar-benar masuk kas negara dan masyarakat mendapat perhatian yang baik dari pemerintah.

         Sekarang kita lihat pemerintah kita saat ini, dengan membuka keran impor, mereka berusaha menutupi kekurangan sembako nasional. Padahal sebenarnya bukan kekurangan, hanya hasilnya tidak sesuai yang diharapkan. Hal itu disebabkan oleh pertama, karena kurangnya perhatian pemerintah terhadap masyarakat petani, untuk pupuk dan benih saja terkadang mereka masih haus membayar mahal, pelatihan hanya diperoleh dari nenek moyang secara turun temurun. Padahal jika proses pengolahan dilakukan dengan teknologi, hasilnya pasti akan lebih bagus dan maksimal.

         Kedua, karena pemerintah ingin mencari jalan tengah yang aman. Berbeda dengan pak Harto yang begitu gencarnya menggalang dana, bahkan dengan hutang. Meski terkesan berisiko tinggi, tapi pemerintah ORBA berani mengambil itu. Dengan dana segitu, pemerintah ORBA membangun negara dengan sebegitu cepatnya. Meski akhirnya gara-gara ulah pemerintah ORBA itu, sampai sekarang Indonesia masih terlilit utang, kita cuma belajar mengambil sisi positif dari ketegasan dan kecepatan pemerintah ORBA dalam menstabilkan kondisi Indonesia saat itu.

         Seandainya pemerintah Indonesia sekarang bisa sedikit lebih berani mengambil risiko untuk memndidik dan membangun rakyat Indonesia, bukan mustahil beberapa tahun ke depan, kita bisa melihat Indonesia sejajar dengan negara-negara maju dunia.  

Tidak ada komentar: