"Lihat si A, dia itu pintar...blablabla..."
"Lihat si B, dia itu kaya...rajin...blablabla..."
"Lihat si C ..." dan seterusnya sampe Z.
Mungkin kita sering mendengar kalimat diatas, terutama kalangan anak-anak, remaja, dan orangtua muda. Biasanya kita mendengar kata itu dari orang-orang yang kita cintai, kita kasihi, kita sayangi.
Orang-orang itu berharap supaya kita menjadi apa yang mereka inginkan. Tentuna mereka selalu berharap kita menjadi orang yang baik dan benar. Namun masalahnya terkadang dengan perkataan-perkataan seperti diatas, membuat kita patah semangat, putus asa, dan kadang kesal.
Hal itu merupakan sesuatu yang wajar, karena sebagai manusia, tak bisa dipungkiri, kita semua mengharapkan pengakuan orang lain atas kemampuan diri kita, terutama dari orang-orang terdekat kita, sehingga kita selalu berusaha dan belajar untuk unjuk kemampuan di depan orang-orang. Kita tentu akan senang jika ada yang mengakui kemampuan kita dengan pujian, doa, harapan, ataupun hanya sekedar kebanggaan. Sebaliknya kita akan kesal dan sedih jika tak seorang pun yan mengakui kita.
Begitu juga dengan kehidupan nyata, terkadang orangtua kita mengatakan seperti ungkapan diatas tadi"...Harusnya kamu bisa sepeti anaknya pak Fulan, dia berhasil menjadi General Manager di perusahaan."
Kata-kata seperti ini setidaknya menimbulkan 2 efek samping negatif bagi yang menjadi objek atau lawan bicara. Pertama, ia akan merasa tidak diakui, ia merasa semua hasil kerjakeras dan jerihpayahnya seama ini sia-sia. Kedua, ia menjadi kurang percaya diri sebagai akibat dari tidak adanya kepercayan, terlebih dari orang -orang terdekat. Kekurang-PD-an ini membuat orang terkadang menjadi penakut, pemalu, dan susah bergaul. Lalu, yg seperti ini tidak bisakah kita sebut sebagai pembunuhan karakter?
Pembunuhan karakter memang biasanya identik dengan bullying, namun pembandingan-pembandingan seperti di atas tadi juga memiliki efek yang tidak jauh berbeda dengan pembunuhan karakter. Bayangkan saja orang yang sudah berusaha keras untuk masuk ke Fakultas Kedokteran Universitas Terkemuka dengan susah payah untuk membahagiakan kedua orangtuanya, Eh...pas sudah diterima, orangtuanya bilang, " Nak, mendingan kamu masuk Fakultas Pertambangan aja, nanti bisa kaya, nggak kaya dokter, emang dokter bisa kaya?", sang anak yang mendengar kalimat itu tentunya akan merasa sakit hati, seakan semua jeih payahnya selama ini tidak diakui sama sekali. Niat hati ingin membahagiakan, malah menyakitkan.
Kebiasaan pembandingan seperti ini sangat sering terjadi di kehidupan bermasyarakat bahkan berkeuarga, namun banyak yang tidak menyadari hal ini. Alasannya biasanya adalah supaya orang mengetahui contoh jadinya. Tapi sekali lagi saya katakan, alangkah baiknya kita tidak perlu memberikan pembandingan berlebihan saat memberikan pelajaran dan nasehat, cukup dengan penggambaran biasa secara umum saja, karena pada dasarnya dengan membeitahukan pembanding-pembanding itu akan membuat seseorang menjadi berpikir terbatas, jika sudah melewati pembanding, maka tugas selesai dan dia bisa tenang. Coba bayangkan seandainya dia tidak mengetahui, tentu dia akan terus bersaing dan berinovasi untuk terus berkembang menjadi lebih baik dan lebih baik lagi.
Oleh karena itu, marilah sebagai orang tua, guru, dan orang yang di'dewasa'kan, kita hindari pembandingan-pembandingan dengan suatu objek khusus saat memberikan pelajaran dan nasehat kepada yang berhak.
"Lihat si B, dia itu kaya...rajin...blablabla..."
"Lihat si C ..." dan seterusnya sampe Z.
Mungkin kita sering mendengar kalimat diatas, terutama kalangan anak-anak, remaja, dan orangtua muda. Biasanya kita mendengar kata itu dari orang-orang yang kita cintai, kita kasihi, kita sayangi.
Orang-orang itu berharap supaya kita menjadi apa yang mereka inginkan. Tentuna mereka selalu berharap kita menjadi orang yang baik dan benar. Namun masalahnya terkadang dengan perkataan-perkataan seperti diatas, membuat kita patah semangat, putus asa, dan kadang kesal.
Hal itu merupakan sesuatu yang wajar, karena sebagai manusia, tak bisa dipungkiri, kita semua mengharapkan pengakuan orang lain atas kemampuan diri kita, terutama dari orang-orang terdekat kita, sehingga kita selalu berusaha dan belajar untuk unjuk kemampuan di depan orang-orang. Kita tentu akan senang jika ada yang mengakui kemampuan kita dengan pujian, doa, harapan, ataupun hanya sekedar kebanggaan. Sebaliknya kita akan kesal dan sedih jika tak seorang pun yan mengakui kita.
Begitu juga dengan kehidupan nyata, terkadang orangtua kita mengatakan seperti ungkapan diatas tadi"...Harusnya kamu bisa sepeti anaknya pak Fulan, dia berhasil menjadi General Manager di perusahaan."
Kata-kata seperti ini setidaknya menimbulkan 2 efek samping negatif bagi yang menjadi objek atau lawan bicara. Pertama, ia akan merasa tidak diakui, ia merasa semua hasil kerjakeras dan jerihpayahnya seama ini sia-sia. Kedua, ia menjadi kurang percaya diri sebagai akibat dari tidak adanya kepercayan, terlebih dari orang -orang terdekat. Kekurang-PD-an ini membuat orang terkadang menjadi penakut, pemalu, dan susah bergaul. Lalu, yg seperti ini tidak bisakah kita sebut sebagai pembunuhan karakter?
Pembunuhan karakter memang biasanya identik dengan bullying, namun pembandingan-pembandingan seperti di atas tadi juga memiliki efek yang tidak jauh berbeda dengan pembunuhan karakter. Bayangkan saja orang yang sudah berusaha keras untuk masuk ke Fakultas Kedokteran Universitas Terkemuka dengan susah payah untuk membahagiakan kedua orangtuanya, Eh...pas sudah diterima, orangtuanya bilang, " Nak, mendingan kamu masuk Fakultas Pertambangan aja, nanti bisa kaya, nggak kaya dokter, emang dokter bisa kaya?", sang anak yang mendengar kalimat itu tentunya akan merasa sakit hati, seakan semua jeih payahnya selama ini tidak diakui sama sekali. Niat hati ingin membahagiakan, malah menyakitkan.
Kebiasaan pembandingan seperti ini sangat sering terjadi di kehidupan bermasyarakat bahkan berkeuarga, namun banyak yang tidak menyadari hal ini. Alasannya biasanya adalah supaya orang mengetahui contoh jadinya. Tapi sekali lagi saya katakan, alangkah baiknya kita tidak perlu memberikan pembandingan berlebihan saat memberikan pelajaran dan nasehat, cukup dengan penggambaran biasa secara umum saja, karena pada dasarnya dengan membeitahukan pembanding-pembanding itu akan membuat seseorang menjadi berpikir terbatas, jika sudah melewati pembanding, maka tugas selesai dan dia bisa tenang. Coba bayangkan seandainya dia tidak mengetahui, tentu dia akan terus bersaing dan berinovasi untuk terus berkembang menjadi lebih baik dan lebih baik lagi.
Oleh karena itu, marilah sebagai orang tua, guru, dan orang yang di'dewasa'kan, kita hindari pembandingan-pembandingan dengan suatu objek khusus saat memberikan pelajaran dan nasehat kepada yang berhak.