Umat yang Tergulung
Sebuah metafora lama masih segar dalam ingatan kita. Alkisah seorang guru memberikan sebuah game untuk para muridnya. Di depan kelas, ia bentangkan sebuah karpet. Kemudian di tengah karpet tadi diletakkan sebuah Al-Qur’an. Sang guru membuat sayembara kepada muridnya : “Siapakah yang bisa mengambil Al-Qur’an tanpa menginjak karpet?” Beberapa anak telah mencoba, tetapi gagal. Pada akhirnya sang guru itu menjawab sendiri. Caranya adalah dengan menggulung karpet itu. Karpet digulung hingga Al-Qur’an terjangkau oleh tangan.
Kemudian sang guru memberi penjelasan kepada murid : "Maka begitulah cara para orientalis mengambil Al-Qur’an dari hati umat muslim. Orang-orang kafir itu tidak berani untuk menginjak-injak hati umat muslim untuk merampas Al-Qur’an dengan paksa. Mereka akan mendapatkan perlawanan dengan sangat keras. Mereka akan menggulung sedikit demi sedikit kecintaan umat muslim tentang agamanya yang luas, dan setelah kecintaan itu tersisa sedikit, Al-Qur’an bisa dienyahkan dari pikirannya."
Seperti itulah kira-kira metafora yang mungkin sering kita dengar.
Seorang preman pemabuk yang hidupnya bergelimpangan dengan maksiat, namun di KTP-nya tertulis agamanya adalah Islam, jangan coba-coba membanting Al-Qur’an di hadapannya. Preman itu akan marah besar. Sekalipun terbiasa dengan maksiat, namun masih ada rasa penghormatan yang tinggi pada simbol-simbol agamanya.
Wajar apabila Panglima Militer Amerika Serikat di Afghanistan, Jenderal David Petraeus, sangat ketakutan dengan rencana Terry Jones yang ingin membakar Al-Qur’an pada peringatan 9 tahun peristiwa 911. "Itu bisa membahayakan pasukan dan itu bisa membahayakan upaya keseluruhan," katanya.
Tapi coba baca wacana tentang ibadah bersama antara umat Islam dan umat agama lain di hadapan preman itu, ia tidak akan meresponnya dengan serius. Atau ia akan menganggap masalah itu terlalu berat untuk dipikirkan. Padahal antara membanting Al-Qur’an dengan penyimpangan ajaran Al-Qur’an sama-sama pelecehan yang serius atas kitab yang diturunkan oleh Allah untuk umat Islam. Bedanya, yang satu yang dilecehkan adalah simbol, dan yang satu adalah intinya.
Golongan orang kafir yang tidak senang dengan umat Islam (QS 2:120) lebih banyak menggunakan metode ‘penggulungan’ ini. Mereka menggulung kecintaan umat Islam pada agamanya. Mereka menggulung pemahaman umat Islam atas agamanya. Mereka menggulung penerapan umat Islam pada agamanya.
Bahwa dunia ini dijadikan indah pada pandangan manusia (QS 3:14), orang-orang itu sangat menyadari hal ini. Maka mereka membawa segala bentuk bayangan fatamorgana kepada umat Islam. Mereka membawa film yang menanyangkan artis-artis cantik dan aktor-aktor tampan. Mereka memberi hutang kepada negeri berpenduduk muslim agar rakyatnya konsumtif. Mereka tawarkan berbagai hobi dan kesenangan. Tujuannya adalah agar kecintaan umat Islam pada agamanya terampas. "Itulah kesenangan hidup didunia dan disisi Allah-lah tempat kembali yang baik." Setelah umat Islam mencintai kesenangan kehidupan dunia, maka tidak ada tempat untuk mencintai agamanya. "Allah sekali-kali tidak menjadikan bagi seseorang dua buah hati dalam rongganya" (QS 33:4)
Mereka juga ikut serta dalam diskusi keislaman dengan membawa pemahaman-pemahaman yang asing. Mereka perkenalkan hermeneutika, metode tafsir yang cocok untuk mengubah perintah dan larangan Allah. Mereka kacaukan aqidah umat dengan ide yang terdengar manis: "Semua agama sama, sama-sama mengajarkan kebaikan". Dengan cara-cara itu mereka menggulung pemahaman umat Islam.
Mereka juga menggulung penerapan umat Islam atas ajaran agamanya. Pada titik ekstrim, seperti di Turki saat awal keruntuhan khilafah Turki Utsmani, mereka melarang adzan dan sholat menggunakan bahasa Arab. Tapi ada banyak cara yang terlihat lembut dan elegan. "Serahkan urusan negara pada kaisar, dan serahkan urusan agama pada pendeta" adalah ajaran agama tetangga. Ajaran itu tidak dikenal dalam Islam. Ajaran seperti itu membuat ajaran Islam yang sangat luas dalam ranah muamalah menjadi ide usang yang tidak bisa diterapkan. Mereka biarkan manusia dengan hawa nafsunya membuat hukum sendiri antar sesama manusia, sedangkan aturan Allah swt yang agung terpinggirkan.
"Dan sesungguhnya kebanyakan (dari manusia) benar-benar hendak menyesatkan (orang lain) dengan hawa nafsu mereka tanpa pengetahuan. Sesungguhnya Tuhanmu, Dia-lah yang lebih mengetahui orang-orang yang melampaui batas." (QS 6:119)
*****
Rasulullah saw tahu akan hal itu, karena itu ia mengadu kepada Allah swt : "Ya Tuhanku, sesungguhnya kaumku menjadikan Al Qur’an itu sesuatu yang tidak diacuhkan." (QS 25:30).
Non muslim tentu saja akan mengacuhkan Al-Qur’an. Tetapi sebagian dari umat Islam sendiri, rupanya dikeluhkan oleh Rasulullah saw. Sekali lagi, mereka tidak mengacuhkan simbol. Umat Islam akan meletakkan mushaf tinggi-tinggi, kalau bisa di atas lemari untuk mengagungkan Al-Qur’an. Apabila Al-Qur’an jatuh atau terkena kaki, mereka mencium Al-Qur’an untuk menebus rasa bersalah. Kitab Al-Qur’an mereka oleskan parfum agar wangi. Sedemikian besar penghormatannya.
Tapi ajarannya tidak dijunjung tinggi-tinggi. Hafalan Qur’an sebagian umat Islam sangat timpang dibanding hafalan lagu-lagu populer. Tidak ada Al-Qur’an di otak mereka. Apabila apa yang mereka pahami dari Al-Quran itu "jatuh" karena terlupa atau tidak diterapkan, mereka tidak punya rasa menyesal yang dalam. Inilah penyakit umat yang saat ini semakin menggerogoti para pemuda generasi penerus, mereka bahkan sampai berlebih-lebihan dalam menghormati Al-Qur’an, namun saat ditanya tentang isi dan ajaran Al-Qur’an, mereka hanya bisa diam seribu bahasa. Umat lain malah bertanya-tanya kebingungan, "seperti inikah yang diajarkan Al-Qur’an kepada mereka?". Bahkan saat umat lain mulai menyadari betapa berharganya ajaran dan ilmu yang terkandung dalam Al-Qur’an, mereka malah sibuk dan asyik dengan berbagai kenikmatan dan perhiasan duniawi.
*****
Saat ini umat Islam sedang digulung, dari berbagai aspek yang mereka miliki. Termasuk kelapangan ukhuwah Islamiyah. Dengan ukhuwah yang sempit, umat Islam saling bertikai sendiri. Jadi, mereka yang memusuhi agama ini tidak perlu "menginjak" umat, tapi mereka merekayasa agar umat saling menginjak satu sama lain.
Tergulung itu tidak terasa, tidak seperti diinjak. Itulah makanya umat Islam diam saja dengan fenomena "tergulung" ini. Mereka lebih punya respon apabila terinjak oleh sesama saudaranya, sebab proses “penggulungan” itu “diam-diam menghanyutkan” umat Islam.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar